PENASULSEL.com MAKASSAR — Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI) menyelenggarakan sosialisasi hukum acara penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Serentak Tahun 2018 di ruang Rapat Pimpinan (Rapim) Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Jum’at (22/6).
Dalam sosialisasi ini hadir memberikan pemaparan Wakil Ketua MK Aswanto dan Sekretaris Jendral (Sekjen) MK M Guntur Hamzah.
Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Sulsel Tautoto Tanaranggina mengatakan hadirnya sosialisasi tersebut sebagai langkah yang tepat khususnya di Sulsel. Apalagi menghadirkan Panwaslu, KPU, Bawaslu, maupun pihak terkait dalam pilkada serentak termasuk kuasa hukum dari empat tim dari pasangan calon Gubernur Sulsel yang akan Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 mendatang.
Diketahui, di Sulsel terdapat 31 pasangan calon kepala daerah yang terdiri dari, 4 paslon Gubernur, 5 Paslon Wali Kota, 22 Paslon Bupati termasuk 3 daerah dengan paslon tunggal.
“Sosialisasi ini sebagai wujud dalam upaya pemahaman terhadap proses pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018 agar dapat berjalan dengan baik khususnya di provinsi Sulsel,” kata Tautoto.
Dalam perjalan tahapan Pilkada Serentak Tahun 2018 di Sulsel telah diwarnai oleh sengketa penetapan paslon maupun pelanggaran Pilkada. Dinamika yang cukup tinggi terjadi di Kota Makassar, Kota Parepare dan Kota Palopo. Puncaknya, yaitu pembatalan keikutsertaan salah satu paslon wali kota Makassar.
Dalam proses hukum sengketa yang berlangsung tersebut. Masing-masing paslon dan penyelenggara Pemilu (KPU dan Panwaslu) kerap bersinggungan akibat dari putusan hukum yang harus dipatuhi atau dilaksanakan.
“Besar harapan kami dengan adanya kegiatan ini maka aturan hukum tentang penyelesaian perselisihan hasil Pilkada dapat tersampaikan kepada seluruh pihak yang terkait,” sebutnya.
Pada sosialisasi ini juga dibuka sesi tanya-jawab. Kepala Biro Pemerintahan Sulsel Hasan Basri Ambarala misalnya, menanyakan soal terkait jika ada gugatan dari paslon atau dari kotak kosong bagaimana mekanismenya.
Aswanto kemudian mejelaskan bahwa, jika ada kotak kosong yang keberatan dapat melakukan juga dapat melakukan pengaduan. Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Mahkama Konstitusi Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Dengan Satu Pasangan Calon. Mereka bisa diwakili oleh Pemantau Pemilu.
“Kotak kosong bisa diwakili oleh Pemantau Pemilu yang diakreditasi oleh KPU untuk mengajukan sengketa hasil Pilkada di MK,” jelas Aswanto.
Ia menambahkan pemantau pemilu yang melaporkan adalah yang telah dikareditasi oleh KPU Kabupaten/Kota setempat bukan provinsi atau setingkat diatasnya.(*)